Thursday, February 16, 2012

Guru

Standard


Belajar adalah tuntutan sekaligus kebutuhan manusia dari dalam perut ibu sampai kematiannya, sebagaimana rasa lapar yang membutuhkan asup makanan. Manusia dapat belajar dari pelajaran kehidupan. Ada yang ia peroleh dari lingkup kecil hingga arena yang lebih luas diluar nalar manusia. Alam semesta menyediakan pelajaran penting sebagai guru bagi kehidupan tentang nilai, aturan dan spiritual.

Sesungguhnya sifat belajar termasuk bagian dari desain manusia itu sendiri, tidak belajar sama halnya mematikan salah satu komponen anugerah pemberian Tuhan, berhenti belajar juga berarti menolak datangnya guru, itu artinya kualitas kemanusiaannya turun. Ada pepatah mengatakan "Guru akan datang bila murid telah siap". Jangan abaikan orang-orang disekitar kita barangkali merekalah guru yang selama ini kita cari-cari tak luput jua pelajaran dari anak-anak, istri, suami atau teman kerja. Seperti kisah ini:

Seorang ibu yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan seringkali mengeluh kepada saya. Kebetulan saya seorang pungusaha troubleshoot komputer, setiap kali menerima telepon dari ibu tadi reflek saya menyiapkan charger Handphone sekaligus me-loud speaker Handphone. Pasalnya lama waktu yang beliau bicarakan, bermula konsultasi seputar kerusakan netbook hingga merembet persoalan lain. Karena ingin menghormati beliau sebagai pelanggan, saya hanya mendengarkan dan sesekali menimpali secara profesional.

Sampai suatu ketika ibu tadi seperti biasa melalui sambungan telepon menanyakan, "Kenapa ya mas tampilan aplikasi browsing saya ketika internetan berubah?. "Tidak masalah bu, biasanya itu terjadi ketika meng-instal software, kemudian software tersebut menyarankan menggunakan search engine (mesin pencari) yang lain dan ibu menerimanya, meskipun terdapat pilihan untuk menolak." Jawab saya. Saya beri langkah-langkah sederhana untuk merubah ke tampilan awal, saya rasa ibu tadi bisa melakukan karena bukan termasuk seorang ibu kantoran yang gaptek. Barangkali menjadi karakter beliau, bukan mengerjakan instruksi yang saya berikan malah menceritakan teman-temannya di kantor yang ditanya nggak tahu solusinya atau tepatnya tidak mau memberitahu. Padahal menurut saya hal tersebut sangat mudah, cukup klik kanan hilangkan centang. Setelah bercerita ke wilayah pribadi, sosial hingga negara, ujung-ujungnya minta bertemu langsung untuk diajari. Kebetulan saya sedang dilapangan saya sarankan bertemu teknisi saya, namun apa jawab ibu tadi. "Apa bisa mas karyawannya?." Hufft! Dalam hati saya anak saya yang umur 5 tahun saja bisa."

Setelah saya bertanya kepada teknisi saya, ibu tersebut bila bertanya dan diberikan solusi bukannya menjalankan melainkan mengajak berdebat hingga marah-marah. Hemm, mungkin itulah penyebabnya semua orang tidak mau 'mengajari'. Tidak ada guru yang mau datang kepadanya, lebih percaya kepada satu guru yang justru sulit ditemui padahal disekitarnya banyak guru yang siap! bila ia berkenan membuka hatinya. 

Menjadi murid sama mulianya menjadi guru, selama sang murid bertawadhu' terhadap guru. Tawadhu' menempatkan pada yang semestinya bila ia menerima ilmu mengamalkannya bila ia menguasai ilmu menebarkannya.

0 comments:

Post a Comment